Comment of The Post kali ini komentar dari Barep Pangestu di postingan Scribd.
Mau tau kenapa ini kepilih? Alasannya karena INI. Ternyata ga cukup anti spam dalam kotak komentar, dibutuhkan juga anti AL4Y! Sorry ya Barep, becanda kok. Makasi banget ya udah mau berkunjung di mari.
-oOo-
Masuk ke topik.
Ga jarang seorang mahasiswa memiliki sifat idealis dalam merencanakan tempat dia ingin bekerja nanti setelah lulus kuliah. Intinya sih yang nyaman. Khususnya yang sesuai dengan disiplin ilmu yang dia pelajari di bangku kuliah. Ga terkecuali saya. Sebagai mahasiswa jurusan kimia, saya berharap nanti bisa kerja di bidang yang ga jauh-jauh dari Kimia. Namun setelah sharing dengan kakak kelas kemaren, ga semuanya semulus itu. Kadang kita harus berbenturan dengan realita yang harus dihadapi nanti.
Kemaren aku main ke rumah seorang alumni. Kita ngobrol.
Awalnya aku kagum dengan temen sekelas seniorku ini ketika masih kuliah. Kakak kelasku jadi kepala lab di sebuah usaha keramik. "It's so hot!", kalo si Paris Hilton bilang. Gimana ga keren coba? Sarjana kimia, lulus, ga lama-lama nganggur langsung jadi kepala lab. Kebayang ketika aku ketemu dia udah kayak ketemu dewa dimana seluruh tubuhnya memancarkan cahaya.
Tapi, alumni yang ku kunjungi bilang kakak kelasku itu jadi pendiem ketika ngumpul-ngumpul bareng temen-temen sekelasnya dulu. Karena merasa minder akan pekerjaannya itu. "Lho? Kenapa gitu?", heran. Sangat heran.
Katanya, gaji jadi kepala lab di sana cuma 800 ribu. Katanya lagi itu ga lah seimbang seukuran S1 dan kerja seberat industri keramik. Aku cuma bisa manggut dan ngeliat kakak kelasku itu. Baru nyadar kalo gaji itu penting. Selama ini aku berpikir, bakat mahal pasti dibayar mahal. Kerja dulu sebaik-baiknya lalu biarkan mereka menilai berapa kita berhak dibayar. Ternyata salah. Setelah ku itung-itung hidup normal di Denpasar ga cukup cuma 800rb.
Kalo dihitung-hitung, kos sebulan rata-rata 500ribu. Hidup seminggu ga cukup cuma 100ribu. Belum bensin, pulsa, dan segala macem. Melihat besarnya gaji sebelum bekerja itu penting. Liat juga tunjangan yang didapet selain gaji. Karena kerja keras tanpa rencana ga menjamin tercapainya kesuksesan.
Dari kakak kelasku juga ku belajar gimana menolak tawaran lowongan kerja dari dosen jikalau tempat kerja yang ditawarkan itu ga representatif. Kita harus tegar pada satu alasan. Tapi dengan nada yang enak didenger. Daripada kita nyesel nantinya, ya kan?
Sepulang dari rumah kakak kelasku ku berniat nyari makan dulu. Di dagang martabak ku ketemu temenku yang lain. Ku tahu dia punya usaha bakso di depan auditorium kampus. Dan dua cabang lagi di tempat lain. Warungnya bukan gerobak, tapi nyewa satu tempat dan membayar beberapa orang pegawai. Sukses banget dah dia. Padahal kita seangkatan. Belum lagi ketika ketemu kemaren dia katanya lagi nyiapin pesenan 350 mangkok dari sebuah hotel. Mantap!
Temenku itu emang pinter bersosialisasi, luwes, dan supel. Ga heran kenalannya banyak. Kadang aku mikir, apa sifat ini bakat dari lahir? Apa sukses itu takdir?